Ragam Sengketa Perusahaan di Indonesia dan Relevansi Penyelesaiannya
Maraknya sengketa perusahaan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya iklim ekonomi dan investasi nasional. Pada perkembangannya, peningkatan iklim ini memberi efek positif untuk penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya kerja sama yang disepakati, risiko sengketa juga tumbuh bersamaan.
Melakukan pengawasan terhadap jalannya sebuah kasus sengketa memang menjadi tugas mutlak pemerintah. Kehadiran mereka ini diwakili oleh perangkat aturan dan lembaga-lembaga hukum. Kolaborasi operasionalnya kemudian membentuk suatu sistem peradilan.
Sistem Peradilan Berlandaskan Hak Asasi Manusia
Sebagai negara hukum, sistem peradilan memang menjadi payung yang wajib melindungi dan menjadi solusi untuk perusahaan-perusahaan yang terlibat sengketa. Apalagi, sebuah temuan mengejutkan menunjukkan bahwa sengketa perusahaan di Indonesia cenderung memicu pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan publikasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sekitar 300 kasus sengketa lahan yang melibatkan perusahaan, menempati urutan pelanggaran teratas. Menyusul di bawahnya kasus sengketa ketenagakerjaan (276 kasus), perusakan lingkungan (72), dan sengketa lainnya sebanyak 196 kasus.
Sengketa perusahaan yang berurusan dengan kasus lahan/tanah, tampaknya memang cenderung meningkat. Penyebab utamanya karena posisi tawar antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah untuk memperoleh hak atas tanah, cenderung tidak seimbang.
Penanganan yang kurang tepat dan penyelesaian yang mengambang, semakin memperbesar indikasi pelanggaran HAM. Hal ini membuat bukti kepemilikan saja tidak cukup untuk menyelesaikan sengketa. Bertambah parah ketika melibatkan oknum-oknum yang mencoba mengambil keuntungan pribadi.
Biasanya sengketa lahan ini mempermasalahkan penelantaran Hak Guna Usaha (HGU) yang terjadi dalam waktu sangat lama. Sementara, kebutuhan masyarakat terhadap lahan pertanian juga sangat tinggi. Akhirnya, yang sering terjadi, mekanisme pengadilan pun erbentur dengan bukti kepemilikan lahan yang telah diurus keabsahannya oleh masyarakat setempat.
Praktik Peradilan Multitafsir
Sengketa perusahaan di Indonesia sering kali melibatkan juga perusahaan-perusahaan asing. Terbaru adalah kasus sengketa merek IKEA antara Inter IKEA System BV dengan PT Ratania Khatulistiwa.
Kasus yang dipublikasikan tahun 2013 ini, memuat gugatan PT Ratania Khatulistiwa terhadap merek IKEA kelas 20 dan kelas 21. Pihak tergugatnya adalah Inter IKEA System BV dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI).
Proses penyelesaian kasus ini mengandung dissenting opinion, yang menyiratkan perbedaan pemahaman dari majelis hakim mengenai ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan. Misalnya, pendefinisian kata “barang atau jasa” yang diperdagangkan dalam UU Merek Pasal 61 dengan interpretasi penjualan secara fisik (toko) dan nonfisik (toko online) pada pasal 61 ayat 2.
Perbedaan pemahaman dari majelis hakim tersebut menimbulkan paradoks terhadap tujuan perlindungan yang diupayakan UU Merek, karena pada praktiknya sengketa penghapusan pendaftaran merek belum mampu diselesaikan melalui pertimbangan yang solid.
Akhirnya, per Mei 2015, gugatan PT Ratania Khatulistiwa memang dimenangkan pada tingkat pertama dan kasasi. Namun, Inter IKEA System BV tetap dapat menjalankan IKEA Indonesia karena Inter IKEA System BV telah lebih dahulu melakukan registrasi ulang atas merek IKEA kelas 20 dan 21 pada tahun 2012.
Baca juga: Pentingnya Pengetahuan Hukum Bagi Seorang Pengusaha
Karakteristik Penyelesaian dalam Arbitrase
Sengketa yang melibatkan perusahaan asing juga dapat dipelajari dari kasus Sony Corporation. Raksasa elektronik asal Jepang tersebut menggugat seorang blogger asal Indonesia, Sony AK, karena domain situsnya dianggap memiliki kemiripan dengan domain Sony Corporation.
Meskipun tidak terbukti menggunakan domain situsnya untuk tujuan komersial, Sony AK tetap harus menjalani proses penyelesaian sengketa dengan Sony Corporation.
Bedanya dengan kasus IKEA, sengketa 2 Sony ini diselesaikan melalui prinsip arbitrase yang mengutamakan kesepakatan “amicable”. Penandatanganan kesepakatan antara Sony Corporation dan Sony AK pun diikuti permintaan maaf dan pencabutan somasi dari penggugat.
Author : Agung Bagaskara
FB : @bplawyers
Sumber : https://bplawyers.co.id/2017/08/04/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase-2/
0 Response to "Ragam Sengketa Perusahaan di Indonesia dan Relevansi Penyelesaiannya"
Post a Comment